Twilight

TW// Bullying, Body Shamming, Physical Disability Cw// High School Au, Harsh words

Notes: Setiap percakapan yang di-italic menggunakan bahasa isyarat.


Halaman belakang.

Tempat tersebut selalu jadi tempat kesukaan Yeosang selama jam istirahat. Jam istirahat yang panjang membuat Yeosang memiliki waktu lebih setelah makan siang.

Halaman belakang sekolah memiliki beberapa kursi untuk dijadikan tempat beristirahat. Banyak siswa yang sedang butuh healing biasanya akan menuju tempat ini. Yeosang duduk di salah satu bangkunya dan mulai membuka novel Harry Potter di hadapannya.

Oh iya, Yeosang ini merupakan siswa yang bisa dikatakan biasa-biasa saja. Wajahnya memang tampan, tetapi menurutnya lebih banyak orang tampan lain di sekolahnya. Dari sisi akademik sendiri pun, Yeosang terbilang cukup biasa. By the way, Yeosang sering remedial Fisika :(

Yeosang kembali membuka novel di tangannya. Ia mulai membaca dari halaman yang sebelumnya sudah ia batasi. Yeosang membaca novel tersebut dalam keadaan lingkungan yang tenang.

“Eh si gendut dateng. Mana dut makanan gua?”

Harapan Yeosang untuk dapat membaca buku dengan tenang sirna begitu saja ketika mendengar suara orang lain di halaman belakang. Yeosang mendengus dan berusaha cuek dengan hal itu. Itu bukan urusan dia juga kan??

“Dia ga bakal denger lo kali. Jelas-jelas dia tuh tuli Hahaha.. Udah tuli, hidup lagi. Buat apa bego...”

Yeosang mendelikkan matanya. Apa-apaan nih? Yeosang jadi ikut merasa tersinggung, soalnya dia juga punya sedikit masalah pendengaran di telinga kanannya. Ya walaupun, ga parah sih, tapi kalau ke sekolah, Yeosang pakai alat bantu dengar supaya materi di sekolah bisa ditangkap dengan baik olehnya.

Yeosang menutup novelnya dan mulai berjalan menuju sumber suara. Yeosang bersyukur dengan proporsi tubuhnya, ia mampu bersembunyi di balik pohon-pohon yang ada di halaman belakang. Ketika Yeosang menengok ke sumber suara, ada 4 orang siswa pria. Satu sedang berlutut di hadapan 3 siswa lainnya.

“Eh gendut, denger gua ga lu?? Kerjain tugas gua ya? Lo kan rank 3 paralel” kata salah satu siswa disana. “Dia ga bisa denger lo bego. Kan alatnya lo ambil” kata siswa lainnya. “Oh iya, tuli sih ya Hahaha” kata siswa pertama yang tadi menghina siswa yang berlutut tersebut.

Yeosang menghela nafasnya. Dia sebenernya ga mau terlibat dengan bullying seperti ini. Tapi, dia kasian juga anak yang dibully itu. Soalnya, sedikit banyak, Yeosang merasakan apa yang anak itu rasakan, apalagi ketika itu berhubungan dengan alat bantu dengar.

“Oy, ngapain lu pada” kata Yeosang sambil menghampiri 3 siswa tersebut. “Eh ada Yeosang. Lo ngapain kesini? Oh mau jadi pahlawan ye?” Kata salah satu siswa tersebut. “Pahlawan kesiangan kali” timpal siswa yang lain. “Pahlawan tuli, ege” kata siswa ketiga dan diikuti tawa yang lain.

“Lo pada udah kelas 12, mending mikirin mau sbm kemana, atau mikirin mau kuliah kemana daripada ngurusin anak orang” kata Yeosang. “Lah terus lu ngapain disini?” Tanya salah satu siswa. “Ya gua disini karena gua udah tau, gua mau kuliah dimana, ke depannya gimana. Jadi, gua mau ngebantu kalian buat cari hal itu” kata Yeosang.

“Cih, bilang aja lo mau jadi pahlawan. Dah lah tinggalin aja si gendut sama si Yeosang” kata siswa tersebut. “Dan tolong jangan ganggu dia lagi ya. Kasian.. Lagian lo harus mulai belajar buat sbm kan??” Kata Yeosang. Ketiga siswa tersebut pun meninggalkan Yeosang dan siswa yang berlutut itu.

Sebelum pergi, Yeosang melihat bahwa salah satu dari ketiganya menginjak alat bantu dengar milik siswa yang dibully tersebut hingga rusak. Yeosang menggelengkan kepalanya. Dia bingung, kok masih ada aja orang yang suka bully orang, apalagi orang yang memiliki kekurangan.

Yeosang berbalik menghadap siswa tersebut dan dengan reflek siswa tersebut mengangkat tangannya untuk menutupi kepalanya. Sepertinya itu adalah gerakan reflek untuk melindungi dirinya. “Tenang, aku ga bakal sakitin kamu” kata Yeosang.

Tapi siswa itu hanya termenung memperhatikan Yeosang. Yeosang menarik kesimpulan bahwa siswa ini benar-benar seorang tuna rungu. Yeosang berjongkok di hadapan siswa tersebut dan tangannya bergerak-gerak dengan lincah. Betul, bahasa isyarat.

Aku ga bakal sakitin kamu” kata Yeosang.

Siswa tersebut kemudian perlahan menurunkan lengannya dan tersenyum kepada Yeosang. “Terima kasih” katanya menggunakan bahasa isyarat. “Kamu lebih baik izin pulang. Alat bantu dengar kamu udah rusak, gimana belajarnya?” tanya Yeosang.

Aku bisa baca gerakan bibir orang kalau yang ngomong pelan” kata siswa tersebut. Yeosang terdiam sebentar, sebelum tangannya melepas alat bantu dengar di sebelah kanannya. Bunyi berdenging keras pun ia rasakan, namun setelahnya hilang dan diikuti oleh kehampaan pada telinga kanannya.

Pakai ini sementara. Setidaknya, lebih baik ada satu daripada tidak sama sekali” kata Yeosang. “Eh, gapapa. Nanti kamu gimana?” tanya siswa itu. “Gapapa, telinga kiriku berfungsi baik kok. Kamu pake aja. Besok bisa balikin ke aku” kata Yeosang.

Terima kasih banyak. Maaf merepotkan” kata siswa tersebut. “By the way, nama kamu siapa? Kayanya aku ga pernah liat kamu?” tanya Yeosang. “Kita teman sekelas, Yeosang” kata siswa tersebut.

Yeosang pun melebarkan matanya. “HAH SERIUS?” tanya Yeosang. Siswa tersebut terkekeh lalu mengangguk. “Aku Jongho. Biasanya aku duduk di bangku kedua dari depan” kata siswa tersebut atau Jongho. “Ah!! Kamu yang pinter matematika itu kan?? Wah gila keren sih” kata Yeosang dengan semangat.

Terima kasih atas pujiannya Yeosang” kata Jongho sambil tersenyum. “Terima kasih kembali. Aku duluan ya? Jangan lupa dipakai alatnya” kata Yeosang dan ia pun beranjak lebih dahulu meninggalkan Jongho. “Terima kasih” cicit Jongho pelan.


Keesokan harinya, Yeosang bingung mendapati tas asing di sebelah bangkunya. Karena kebetulan di kelas Yeosang siswanya ganjil, ia jarang mendapatkan teman sebangku. Dan Yeosang tidak pernah memusingkan hal tersebut sih, malah enak duduk sendirian.

Makanya ketika ia mendapati sebuah tas asing di samping kursinya membuat ia bertanya-tanya. “Hai Yeosang.” Yeosang menengok pada orang yang menyapanya dan mendapati Jongho disana sambil menenteng sebuah totebag berukuran sedang di tangannya. “Oh halo Jongho. Ada apa ya?” Tanya Yeosang.

“Maaf sebelumnya aku lancang, tapi, aku boleh duduk di samping Yeosang?” Tanya Jongho. “Oh ternyata ini tasmu ya? Yaudah sih duduk aja. Bebas ini kan kursinya” kata Yeosang. “Oke terima kasih” kata Jongho. Jongho pun duduk di bangku sebelah kiri dan Yeosang duduk di bangku sebelah kanan, dimana bangku tersebut bersebelahan dengan tembok kelasnya.

“Ini buat Yeosang” kata Jongho sambil memberikan beberapa roti dan cemilan. “Loh, apa ini? Dalam rangka apa kamu ngasih aku ini?” Tanya Yeosang. “Ucapan terima kasih. Soalnya kamu kemaren nolongin aku dan mereka ga bully aku lagi. Oh ya, ini juga alat kamu. Terima kasih” kata Jongho sambil memberikan alat bantu dengar milik Yeosang.

“Sama-sama” kata Yeosang sambil mengambil alat bantu dengarnya dari Jongho. “Kamu cukup jelas kalau ngomong” kata Yeosang. “Ah iya hehe.. Aku tuli karna kecelakaan ka. Jadi ya aku terbilang cukup normal untuk berbicara” kata Jongho.

Ketika jam istirahat berbunyi, Yeosang memutuskan untuk makan di depan kelasnya. Jongho sedari tadi sudah menghilang entah kemana. Yeosang juga ga terlalu peduli sihㅡ

“Aduh!!”

“JONGHO!!” teriak Yeosang. Sepertinya itu adalah kali pertama Yeosang berteriak di sekolah tersebut. Bagaimana tidak, Jongho terjatuh karena tersandung tali sepatunya yang tidak terikat. Jongho sedang membawa buku milik teman-teman sekelasnya, sehingga ia jatuh menimpa buku-buku tersebut.

“Kok bisa jatoh sih?!” Tanya Yeosang bingung. “Hehehe... Aku udahs sering jatoh kok, Yeo. Aku ga bisa ngiket tali sepatu soalnya” kata Jongho. Ini bukan modus atau apa, tapi Jongho memang tidak bisa mengikat tali sepatu. Selama ini, mamanya lah yang mengikat tali sepatunya sebelum berangkat sekolah.

“Kenapa gitu?” Tanya Yeosang. “Engga tau juga. Dari dulu ga bisa iket tali sepatu, tali atau pita-pita gitu. Kata dokter dulu motorik halusku agak kurang. Makanya kalo pegang barang kadang suka jatoh juga” kata Jongho. “Kalo aku suka tremor” kata Yeosang.

“Oh ya?? Kenapa gitu?” Tanya Jongho. “Gula darahku cepet ngedropnya dan rendah banget. Makanya harus sedia cola di rumah. Cola kan kandungan gulanya tinggi” kata Yeosang. “Ah..” kata Jongho. “Udah selesai” kata Yeosang.

Ternyata, Yeosang mengikat tali sepatu Jongho dan memastikan bahwa tali tersebut tidak akan lepas walaupun dipakai berlari. “Terima kasih banyak Yeosang” kata Jongho. “Sama-sama” kata Yeosang sambil tersenyum.


Beberapa hari kemudian, kelas Yeosang dan Jongho mengikuti kelas olahraga. Jongho tersenyum senang, karena ia tidak perlu takut lagi akan tersandung selama pelajaran olahraga, karena simpul tali yang dibuat Yeosang masih terikat rapi di sepatunya.

“Hari ini kita akan ambil nilai ya. Nilainya dari lari estafet ya. Satu kelompok 4 orang aja sesuai nomor absen” kata guru olahraga. Yeosang dan Jongho pun harus terpisah dikarenakan nomor absen mereka yang cukup berjauhan.

Kelompok Jongho maju duluan. Yeosang tanpa sadar tersenyum melihat Jongho yang berlari dengan mudah tanpa harus tersandung tali sepatu. “Selanjutnya, Kang Yeosang” panggil guru olahraga tersebut. Yeosang dan 3 temannya pun beranjak menuju lapangan. Yeosang mendapat tempat terakhir dan ia tidak masalah dengan hal itu.

PRIT!!

Peluit pun berbunyi. Teman pertamanya mulai berlari menuju teman keduanya sambil memberikan tongkat estafet. Teman keduanya pun mulai berlari kepada teman ketiganya. Yeosang pun bersiap menerima tongkat ketiga dari temannya itu.

Ketika tongkat estafet sudah berada di tangannya, Yeosang pun bersiap untuk berlari. Namun, pandangannya berubah menjadi gelap dan kesadarannya menghilang. “YEOSANG!!” Hal terakhir yang bisa didengarnya adalah suara Jongho yang berteriak memanggil namanya.


Yeosang terbangun dengan kepalanya yang masih sangat pusing. Matanya melirik keadaan sekitar dan Yeosang menyadari bahwa dirinya berada di uks. Jam sekolah pun menunjukkan pukul 4 sore. “Yeosang??”

Yeosang memandang ke arah sebelah kanannya dan mendapati Jongho disana. “Masih pusing ga?? Mau cola? Aku tadi minta mamaku. Colanya masih dingin kok” kata Jongho. “Mama?” Tanya Yeosang. “Hehehe.. Yang jualan minuman di kantin tuh mamaku” kata Jongho.

Yeosang menerima sekaleng cola dan meminumnya untuk memulihkan rasa pusing yang menderanya. “Kamu belum pulang?” Tanya Yeosang. “Belum. Kan masih ada yang ekskul basket. Mamaku biasanya nungguin sampai yang ekskul selesai baru pulang” kata Jongho.

“Ah..” kata Yeosang. “Kamu masih pusing ga?? Butuh yang lain?” Tanya Jongho. “Engga. Butuh kamu aja disini” kata Yeosang. Jongho pun terkejut tapi diam-diam matanya tersenyum pada Yeosang. Satu kata yang menggambarkan mata itu.

Indah.

Yeosang ingin melihatnya setiap hari. Yeosang ingin membuat mata itu terus tersenyum padanya dan menampilkan binar yang cerah. “Yeosang?? Kenapa??” Panggil Jongho.

“Engga hehe.. Oh ya, kamu pinter matematika kan ya? Bisa dong ajarin aku Fisika. Aku remed fisika terus nih” kata Yeosang. “Kok dari matematika jadi fisika?” Tanya Jongho. “Biasanya yang pinter matematika pasti bisa fisika” kata Yeosang. “Teori darimana itu?” Tanya Jongho.

“Teori dari aku” kata Yeosang. Jongho menggelengkan kepalanya dan dibalas Yeosang dengan cengiran semata. “Iya deh. Tapi kamu ajarin aku kimia ya? Otakku mumet banget setiap belajar kimia” kata Jongho. “Sipp. Bisa diatur itu mah” kata Yeosang.

Untuk saat ini, baik Yeosang dan Jongho belum memahami arti dari jantung mereka yang berdetak lebih cepat ketika merasakan eksistensi satu sama lain. Tetapi, biarlah. Saat ini, biarkan mereka menikmati waktu-waktu terakhir di SMA dengan belajar bersama. Siapa tau setelahnya mereka menyadari bahwa ada rasa kasih dan sayang untuk satu sama lain?